Kamis, 03 Desember 2009

MEMAKNAI KEMBALI ARSIP

SEBAGAI SUMBER INFORMASI

Waluyo

Persoalan mendasar yang dihadapi para pengelola kearsipan sebenarnya bukan terletak pada sulitnya menerapkan suatu sitem kearsipan, tetapi lebih pada bagaimana meyakinkan orang untuk mau menerapkan sistem kearsipan

A. Pengantar

Dewasa ini, informasi menjadi kebutuhan mutlak bagi setiap organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Keseluruhan kegiatan organisasi pada dasarnya membutuhkan informasi. Oleh karena itu, informasi menjadi bagian yang sangat penting untuk mendukung proses kerja administrasi dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dari birokrasi didalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dengan cepat.

Salah satu sumber informasi penting yang dapat menunjang proses kegiatan administrasi maupun birokrasi adalah arsip (record).[1] Sebagai rekaman informasi dari seluruh aktivitas organisasi, arsip berfungsi sebagai pusat ingatan, alat bantu pengambilan keputusan, bukti eksistensi organisasi dan untuk kepentingan organisai yang lain. Berdasarkan fungsi arsip yang sangat penting tersebut maka harus ada menajeman atau pengelolaan arsip yang baik sejak penciptaan sampai dengan penyusutan.

Pengelolaan arsip secara baik yang dapat menunjung kegiatan administrasi agar lebih lancar seringkali diabaikan dengan berbagai macam alasan. Berbagai kendala seperti kurangnya tenaga arsiparis maupun terbatasnya sarana dan prasarana selalu menjadi alasan buruknya pengelolaan arsip di hampir sebagian besar instansi pemerintah maupun swasta. Kondisi semacam itu diperparah dengan image yang selalu menempatkan bidang kearsipan sebagai “bidang pinggiran” diantara aktivitas-aktivitas kerja lainnya.

Realitas tersebut dapat dilihat dalam berbagai kesempatan diskusi dan seminar bidang kearsipan yang senantiasa muncul keluhan dan persoalan klasik seputar tidak diperhatikannya bidang kearsipan suatu instansi atau organisasi, pimpinan yang memandang sebelah mata tetapi selalu ingin pelayanan cepat dan tentu saja persoalan tidak sebandingnya insentif yang diperoleh pengelola kearsipan dengan beban kerja yang ditanggungnya.

Problema-problema tersebut tentu sangat memprihatinkan, karena muaranya adalah pada citra yang tidak baik pada bidang kearsipan. Padahal bidang inilah yang paling vital dalam kerangka kerja suatu administrasi. Tertib administrasi yang diharapkan hanya akan menjadi “omong kosong” apabila tidak dimulai dari tertib kearsipannya.

Dipandang dari nilai pentingnya arsip, semua orang akan mengatakan penting atau sangat penting bahkan seorang pakar kearsipan mengungkapkan bahwa dunia tanpa arsip adalah dunia tanpa memori, tanpa kepastian hukum, tanpa sejarah, tanpa kebudayaan dan tanpa ilmu pengetahuan, serta tanpa identitas kolektif.[2] Tetapi tidak dengan sendirinya arsip-arsip akan menjadi memori, kebudayaan, jaminan kepastian hukum, bahkan pembangun identitas kolektif suatu bangsa jika tidak diikuti dengan upaya pengelolaan arsip secara baik dan benar serta konsisten memandang dan menempatkan arsip sebagai informasi lebih dari sekedar by product kegiatan organisasi.

Arsip memang bukan hanya sekedar hasil samping dari kegiatan organisasi, arsip diterima dan diciptakan oleh organinasi dalam rangka pelaksanaan kegiatan dan disimpan sebagai bukti kebijakan dan aktivitasnya.[3] Sebagai salah satu sumber informasi arsip memiliki banyak fungsi yang signifikan untuk menunjang proses kegiatan administratif dan fungsi-fungsi manajemen birokrasi, disamping sebagai sumber primer bagi para peneliti/akademisi.

B. Pengertian Arsip

Menurut bahasa referensi, arsip atau records merupakan informasi yang direkam dalam bentuk atau medium apapun, dibuat, diterima, dan dipelihara oleh suatu organisasi/lembaga/badan/perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan.[4] Pengertian tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan yang termaktub dalam UU No. 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan.[5]

Secara etimologi arsip berasal dari bahasa Yunani Kuno Archeon, Arche yang dapat bermakna permulaan, asal, tempat utama, kekuasaan dan juga berarti bangunan/kantor. Perkembangan selanjutnya kita mengenal archaios yang berarti kuno, archaic, architect, archaeology, archive dan arsip. Pengertian-pengertian tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan betapa sebenarnya bidang kearsipan itu sudah cukup akrab di indera dengar kita, disamping juga sudah cukup tua umur kemunculannya.

Lebih dari sekedar diskusi tentang istilah arsip, sebenarnya secara akademis kita juga akan lebih jauh melihat eksistensi kearsipan sebagai ilmu pengetahuan. Bila ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan yang tersusun dan pengetahuan adalah pengamatan yang disusun secara sistematis, maka kearsipan tentu dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, kearsipan memenuhi syarat-syarat universalism, organized, disinterestedness dan communalism. Semua itu dikemukakan sebagai justifikasi terhadap eksistensi kearsipan.

Lebih jauh lagi kita dapat melacak kedudukan kearsipan dalam kerangka ilmu informasi. Dalam ilmu informasi kita mengenal dokumentasi yang didalamnya meliputi dokumen dalam wujud korporil (museum), dokumen dalam wujud literair (perpustakaan), dan dokumen privat (kearsipan).

Secara umum kita dapat mengidentifikasi dokumen dalam wujud korporil sebagai benda-benda artefak dan koleksi-koleksi antik dan karya yang memiliki nilai historis dan archaic, khasanah tersebut dikelola oleh museum.

Dokumen literair yang meliputi bidang perpustakaan disebut juga sebagai dokumentasi publik (dokumentasi yang terbuka untuk umum) yang dibedakan dengan dokumentasi privat (arsip). Dalam kaitan ini secara lebih rinci kita dapat mengidentifikasi perbedaan arsip dengan perpustakaan sebagai berikut:

1. Fungsi perpustakaan adalah menyimpan dan menyediakan koleksi buku dan bahan tercetak, sedangkan fungsi utama arsip adalah memelihara akumulasi dari bukti aktivitas / kegiatan suatu organisasi atau perorangan sebagai organic entity.

2. Pustakawan berhubungan dengan koleksi atau bahan pustaka dalam wujud berbagai kopi buku dari suatu terbitan yang sangat mungkin terdapat pada perpustakaan lain. Sedangkan arsiparis atau petugas kearsipan berhubungan dengan khasanah rekaman informasi berupa tulisan atau manuskrip yang unik dan tidak ada ditempat lain.

3. Arsip tercipta sebagai akibat dari aktivitas fungsional suatu organisasi atau personal, arsip seringkali terdapat keterkaitan informasi dengan arsip yang lain sebagai satu unit informasi atau kelompok berkas. Sedangkan bahan pustaka merupakan materi diskrit, dimana antara satu buku dengan buku lain tidak saling bergantung.

4. Bahan pustaka yang hilang dapat diganti dalam bentuk asli atau tersedia diperpustakaan lain, sedangkan arsip yang hilang tidak mungkin dapat digantikan keotentikannya dan tidak mungkin diperoleh dari tempat lain.

5. Pustakawan berinteraksi dengan buku-buku sebagai satuan individu yang masing-masing memiliki identitas tersendiri, sedangkan petugas kearsipan tidak umum memperlakukan arsip secara individu karena berkas arsip adalah kesatuan informasi.

Persamaan mendasar dari arsip dan bahan pustaka adalah bahwa keduanya membutuhkan pemeliharaan dan pelestarian. Di negara-negara maju lembaga kearsipan dan perpustakan secara umum tidak dipisahkan, ini terutama dapat dilihat pada organisasi-organisasi kearsipan dan perpustakaan di perguruan tinggi.

C. Tipologi Arsip

Tipologi arsip bisanya dikaitkan dengan media penyimpan informasi arsip. Bentuk media arsip dapat berupa kertas, film, suara maupun elektronik. Secara rinci pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Arsip berbasis kertas (paper records) yaitu arsip-arsip berupa teks yang ditulis di atas kertas. Bentuk arsip bermedia kertas ini juga lazim disebut sebagai arsip yang bersifat konvensional.

b. Arsip pandang-dengar (audio-visual records) merupakan arsip yang dapat dilihat dan didengar. Arsip pandang dengar dapat dirinci dalam 3 kategori:

1. Arsip gambar statik (static image), contohnya foto.

2. Arsip citra bergerak (moving image), film, video, dsb.

3. Arsip rekaman suara (sound recording), kaset.

c. Arsip elektronik, merupakan arsip-arsip yang disimpan dan diolah di dalam suatu format, dimana hanya komputer yang dapat memprosesnya maka sering dikatakan sebagai machine-readable-records.Contohnya floppy disk, hard disk, pita magnetik, optical disk, cd rom, dsb.

Perlu juga dikemukakan di sini bahwa berdasarkan keunikan media perekam informasi arsip beberapa literatur kearsipan menyebut adanya special format records atau arsip bentuk khusus. Contoh dari jenis arsip tersebut adalah arsip kartografi dan kearsitekturan, meskipun kedua corak arsip tersebut berbasis kertas, tetapi karena bentuknya yang unik dan khas, maka arsip-arsip tersebut merupakan arsip bentuk khusus yang dapat dibedakan dengan arsip tekstual lainya.

D. Arsip sebagai Sumber Informasi

Mengelola arsip tidak semata-mata memperlakukannya dari sudut teknis pengelolaan media rekamnya belaka, melainkan dari sisi peranan arsip sebagai sumber informasi. Dari sudut pandang ini maka nilai arsip akan mulai tampak berdaya guna, oleh karena diperlukan sebagai informasi.

Di dunia yang semakin kompleks ini, kegiatan apapun tidak lagi mengandalkan ingatan pelaksana atau pelakunya. Apa yang harus dilakukan adalah mengelola informasi melalui pengelolaan arsipnya. Benar kata pepatah bahwa memory can fail, but what is recorded will remain..[6]

Beberapa alasan mengapa manusia merekam informasi; alasan pribadi, alasan sosial, alasan ekonomi, alasan hukum, alasan instrumental, alasan simbolis, dan alasan ilmu pengetahuan.[7]

Lebih dari alasan-alasan di atas, dalam konteks organisasi atau korporasi saat ini perlu di garis bawahi bahwa organisasi modern adalah organisasi yang bertumpu pada informasi (a modern organization is an information based organization). Arsip sebagai recorded information jelas menempati posisi vital dalam organisasi modern tersebut. Arsip akan dibutuhkan dalam seluruh proses kegiatan manajemen organisasi, dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

E. Arsip dan Administrasi

Hubungan arsip dengan administrasi merupakan hubungan dua sisi sebuah mata uang atau hubungan antara suatu benda dengan bayangannya. Arsip sebagai bagian dari proses administrasi hanya ada apabila administrasi itu berjalan.

a. Proses

- Arsip tercipta sebagai endapan informasi terekam dari pelaksanaan kegiatan administrasi suatu instansi/korporasi.

- Arsip merupakan substansi informasi yang melekat pada fungsi, sehingga setiap pengaturan arsip harus mempertimbangkan:

o Agar informasi yang terdapat dalam arsip bisa digunakan untuk kepentingan operasional intansi/korporasi secara fungsional

o Agar informasi dalam arsip dapat dikelompokkan dalam unit-unit informasi secara spesifik agar dapat diberikan secara tepat informasi, tepat waktu, tepat orang, dan tepat guna, serta dalam waktu yang secepat mungkin.

b. Fungsi Arsip

Menurut UU No.7 tahun 1971, fungsinya arsip dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis. Dalam literatur-literatur kearsipan (USA) kita mengenal pembedaan fungsi arsip atas records dan archives. Arsip dinamis adalah arsip yang masih secara langsung digunakan dalam kegiatan-kegiatan atau aktivitas organisasi, baik sejak perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi. Atau dalam bahasa perundang-undangan kearsipan disebut sebagai arsip yang dipergunakan secara langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, penyelenggaraan kehidupan kebangsaan pada umumnya atau dipergunakan secara langsung dalam penyelenggaraan administrasi negara.

Arsip statis adalah arsip yang tidak dipergunakan lagi di dalam fungsi-fungsi manajemen, tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Arsip statis merupakan arsip yang memiliki nilai guna berkelanjutan (continuing value).

Arsip dinamis berdasarkan kepentingan penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu arsip dinamis aktif dan dinamis inaktif. Arsip dinamis aktif berarti arsip yang secara langsung dan terus-menerus diperlukan dan dipergunakan di dalam penyelenggaraan administrasi. Sedangkan arsip dinamis inaktif merupakan arsip-arsip yang frekuensi penggunaannya untuk penyelenggaraan administrasi sudah menurun.

Frekuensi penggunaan yang menurun sering menjadi problematika tersendiri di Indonesia apalagi bagi instansi yang tidak memiliki JRA (Jadwal Retensi Arsip), artinya bahwa semua tergantung bagaimana suatu instansi menilai bahwa suatu arsip sudah dikatakan menurun frekuensi penggunaannya, hal ini tentu saja harus didasarkan pada kebutuhan organisasi.. Sekedar sebagai gambaran, seorang ahli kearsipan menyebutkan bahwa arsip dapat dipertimbangkan menjadi inaktif apabila penggunaannya kurang dari 10 kali dalam satu tahun.[8]

Bertitik tolak dari fungsi dan kegunaan arsip, maka arsip sebagai salah satu sumber informasi harus dikelola dalam suatu sistem/manajemen, sehingga informasi arsip memungkinkan untuk disajikan secara tepat, kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat dengan biaya yang serendah mungkin. Dengan demikian informasi yang terekam tersebut dapat digunakan di dalam menunjang proses pengambilan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan serta dapat dijadikan referensi sebagai input yang sangat signifikan bagi proses manajemen, baik bisnis maupun pemerintahan.

c. Kegunaan Arsip

Kegunaan arsip secara umum terbagi atas dua, yaitu kegunaan bagi instansi pencipta arsip, dan kegunaan bagi kehidupan kebangsaan.

Bagi Instansi Pencipta, kegunaan arsip antara lain meliputi:

- endapan informasi pelaksanaan kegiatan sebagai wujud dari memori kolektif instansi

- pendukung kesiapan informasi bagi pembuat keputusan

- sarana peningkatan efisiensi operasional instansi

- memenuhi ketentuan hukum yang berlaku

- bukti eksistensi instansi

Bagi Kehidupan kebangsaan, kegunaan arsip antara lain meliputi:

- bukti pertanggungjawaban/akuntabilitas nasional

- rekaman budaya nasional sebagai memori kolektif dan prestasi intelektual bangsa

- bukti sejarah

F. Penutup

Uraian di atas merupakan pokok-pokok dalam bidang kearsipan yang minimal perlu diketahui dan dipahami oleh semua elemen yang concern terhadap bidang ini, terutama para pelaku atau pengelola kearsipan. Gambaran umum di atas menjadi titik tolak yang harus dijabarkan pada tataran yang lebih detail dan dasar yang harus dikembangkan pada tingkat implementasi.

Dengan penguasaan dasar kearsipan, perkembangan bidang ilmu informasi lain tidak akan meredusir peran kearsipan bahkan seharusnya justru menunjang pengembangannya, seperti misalnya perkembangan teknologi informasi.

Perkembangan teknologi informasi merupakan hal yang tidak dapat dielakkan. Imbas dari perkembangan tersebut menyeruak kesegala bidang termasuk kearsipan. Sebagai pengelola bidang kearsipan tentu kita harus merespon secara positif perkembangan tersebut. Hal itu akan sangat menguatkan eksistensi kita sebagai pengelola kearsipan yang merupakan bagian dari pengelola informasi, sesuatu yang menjadi mainstream di abad ini.

Apabila selama ini peran pengelola kearsipan dalam suatu organisasi dipandang relatif rendah maka dengan kemampuan mengadopsi perkembangan teknologi informasi tersebut akan merubah image yang selama ini melekat pada diri pengelola bidang kearsipan .

Daftar Pustaka

Arsip dan Sejarah, Jakarta: ANRI, 1980.

Kennedy, Jay and Cherryl Schauder, Records Management, A Guide to Corporate Record Keeping Melbourne: Longman, 1998.

Mykland, Liv Protection and identity: The Archivist’s Identity and Professionalism, Montreal:ICA, XIIth, 1992.

Penn, Ira A, Gail Pennix, Anne Morddel and Kelvin Smith, Records Management Handbook, Vermont: Ashgate Publish, 1992.

Ricks, Betty, et.al., Information and Image Management: a Records System Approach, South Western Publishing Co., Cincinnati, 1992

Robek, Mary, Gerald Brown and Wilmer O. Maedke, Information and Record Management, Los Angeles: California State University, 1987.

Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis, Pengantar Memahami dan mengelola Informasi dan Dokumen, Jakarta: Gramedia, 2003.

Wallace, Patricia E., et.al., Records Management Intregated Information Systems, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1992

Walne, Peter, eds, Dictionary of Archival Terminology, Munchen: KG. Saur, 1988.


[1]Pengertian arsip yang lebih menekankan pada fungsi informasi dapat dilihat dari pendapat Jay

Kennedy dan Cherryl Schaudder yang mengemukakan bahwa arsip merupakan informasi yang direkam

dalam bentuk atau medium apapun, dibuat, diterima, dan dipelihara oleh suatu organisasi/lembaga/badan/

perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan. Lihat: Jay Kennedy and Cherryl Schauder, Records management:

A Guide to Corporate Record Keeping (Melbourne: Longman, 1998), hlm. 1. Sedangkan definisi yang lebih

menekankan pada penyimpanan dan pentingnya lembaga arsip dapat dilihat pendapat dari: T.R.

Schellenberg, Modern Archives: Principles and Techniques (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), hlm.

17.

[2]Liv Mykland, Protection and identity: The Archivist’s Identity and Professionalism (Montreal:ICA, XIIth, 1992), hal.2.

[3]Jay Kennedy and Cherryl Schauder, Records Management, A Guide to Corporate Record Keeping (Melbourne:

Longman, 1998), hal. 1.

[4]Peter Walne (ed), Dictionary of Archival Terminology (Munchen: KG. Saur, 1988), hal. 128.

[5]Pasal 1 menyebutkan arsip ialah:

a. naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan dalam bentuk dan corak apapun baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah.

b. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-badan swasta dan/atau perorangan, dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.

Rabu, 24 Juni 2009

Sejarah adalah salah satu cabang dari ilmu sosial yang sangat ter­buka kepada hal yang bersifat amatiran. Hal tersebut tergam­bar dari suatu pendapat yang menyatakan bahwa semua orang mampu menulis sejarah. Konse­kuensi dari pendapat tersebut adalah banyaknya tulisan tentang sejarah yang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kadangkala sulit dibeda­kan antara yang dongeng, mitos, legenda, dan sejenisnya dengan fakta sejarah. Sekarang tulisan-tulisan seperti itu tidak dapat di­pertahankan lagi.

Sejarah seha­rusnya ditulis oleh orang yang mempunyai kompetensi di bi­dang kesejarahan (baca : sejara­wan) yang diharapkan mampu meneliti dan menulis dengan se­mangat kritis yang tinggi, dalam arti sejak pengumpulan data atau sumber sejarah (yang biasa disebut heuristik) sampai kepada tahap penulisannya (historio­grafi), harus dilakukan serang­kaian kritik sehingga dapat diha­silkan suatu tulisan sejarah yang didasarkan atas fakta-fakta yang benar-benar teruji dan da­pat diandalkan. Untuk menca­painya sejarah harus ditulis melalui prosedur yang disebut Me­tode Sejarah. Metode ini mempunyai empat tahapan yang integral, yakni Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.

Tulisan ini tidaklah dimak­sudkan untuk membahas empat tahapan tersebut secara menyeluruh dan mendalam dan tidak pula dimaksudkan untuk mem­berikan suatu jaminan bahwa suatu peristiwa sejarah dapat di­tuangkan ke dalam suatu tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang penting di sini adalah memberikan peng­ertian tentang dasar-dasar me­tode tersebut yang mungkin ber­manfaat terutama bagi kandidat ahli ilmu sejarah atau peminat sejarah. Dan, penggunaan me­tode sejarah itu sendiri sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri ber­langsung.

Heuristik

Heuristik adalah kegiatan ber­upa penghimpunan jejak-jejak masa lampau, yakni peninggalan sejarah atau sumber apa saja yang dapat dijadikan informasi dalam pengeritian studi sejarah.

Louis Gottchalk (1975) telah memilah heuristik, sebagai berikut, pertama: memilih memilih subjek. Dalam memilih subjek, heuristik harus merujuk kepada empat pertanyaan pokok, yakni : dimana, siapa, bilamana, dan apa. Pertanyaan tersebut berke­naan dengan aspek geografis, biografis, kronologis, fungsio­nal atau okupasional. Dari pertanyaan pokok itulah ber­bagai keharusan konseptual dilakukan dan berbagai pro­ses pengerjaan penelitian dan penulisan dijalani. Perta­nyaan tersebut berfungsi un­tuk menentukan penting atau tidaknya suatu peristiwa dite­liti. Juga sebagai alat untuk menentukan hal-hal mana yang bisa dijadikan “fakta se­jarah”. Pendek kata fokus yang bersitat interogatif terse­but akan menuntun sejara­wan kepada subjek, sehingga terhindar dari fokus yang yang ngawur atau tidak perlu.

Kedua, informasi tentang subjek, yang dapat dapat diperoleh dari berbagai macam sumber, yakni: (1) Rekaman sezaman yang ter­diri dari instruksi atau perintah, rekaman stenografis dan fonografis, surat niaga dan hukum, serta buku catatan pribadi dan memorandum prive; (2) Laporan konfiden­sial yang terdiri berita resmi militer dan diplomatik, jurnal atau buku harian, dan surat-surat pribadi; (3) Laporan-la­poran umum yang terdiri dari laporan dan berita surat ka­bar, memoar dan otobiografi, sejarah “resmi” suatu in­stansi, perusahaan dan seje­nisnya. (4) Quesionaris tertu­lis; (5) Dokumen pemerintah dan kompilasi, terdiri dari ri­salah instansi pemerintah, undang-undang dan per­aturan; (6) Pernyataan opini, terdiri tajuk rencana, esei, pi­dato, brosur, surat kepada re­daksi, dan sejenisnya; (7) Fiksi, nyanyian, dan puisi; (8) Folklore, nama tempat, dan pepatah.

Delapan sumber informasi ter­sebut bukanlah sumber sejarah dalam arti sebenarnya. Artinya ia hanya sebagai sarana untuk mencari keterangan tentang sub­jek. Sedangkan sumber sejarah itu sendiri adalah hasil yang di­peroleh dari pencarian informasi tersebut yang nantinya diguna­kan dalam penulisan sejarah se­telah melalui tahapan pengujian.

Tentang sumber sejarah, Nu­groho Notosusanto (1978:36) telah mengklasifikasikannya ke dalam tiga bentuk yang seder­hana yakni: (1) Sumber benda; menyangkut benda-benda arkeologis, efigrafi, numistik, dan benda sejenis lainnya; (2) Sum­ber tertulis, terdiri dari buku-buku dan dokumen; (3) Sumber lisan, terdiri dari hasil wawan­cara dan tradisi lisan (oral tradi­tion).

Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis memerlukan fakta-fakta yang telah teruji. Oleh karena itu data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang seobjektif mung­kin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitasnya (kritik ekstern) maupun kredibilitas isinya (kritik intern), dilakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung

Ada beberapa teknik pengum­pulan data yang dapat dipergunakan dalam metode se­jarah, seperti: studi kepusta­kaan, pengamatan lapangan, wa­wancara (interview). Dapat pula digunakan teknik lain seperti questionnaires, pendekatan te­matis (topical approach) beserta berbagai perangkat ilmu bantu lainnya, terutama digunakan ter­hadap topik yang mengarah ke­pada studi kasus (case study).

Kritik

Hasil pengerjaan studi sejarah yang akademis atau kritis me­merlukan fakta-fakta yang telah teruji. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang sob­jektif mungkin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitas­nya (kritik ekstern) maupun kre­dibilitas isinya (kritik intern), di­lakukan ketika dan sesudah pengumpulan data berlangsung.

Kritik ekstern terhadap sum­ber lisan kalau memang meng­gunakan teknik wawancara dilakukan terhadap para informan yang akan diwawancarai. In­forman harus memiliki kemampuan untuk memberikan kete­rangan yang sebenarnya. Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan­nya atas suatu peristiwa, serta tingkat keintelektualannya. Ca­ranya antara lain dengan jalan meminta keterangan kepada para informan tentang keterli­batan informan lainnya atas peristiwa tersebut.

Faktor usia juga menentukan dan sedapat mung­kin diperlukan informan yang se­zaman dan pernah berkiprah pada peristiwa yang diteliti. Se­dangkan kritik intern terhadap sumber lisan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan beberapa hasil wawancara an­tara informan yang satu dengan yang lainnya, yang juga diban­dingkan dengan sumber sejarah lainnya. Perbandingan itu perlu dilakukan terutama terhadap versi cerita yang berbeda-beda tentang sesuatu peristiwa. Sema­kin banyak versi cerita semakin mudah untuk memperoleh fakta yang sebenarnya. Tentang hal ini ada baiknya dibaca pengalaman Anton Lucas dalam Koentjaraningrat dan Donald K. Emerson, editor (1982) yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh para kandidat ahli atau peminat sejarah.

Kritik ekstern terhadap sum­ber tertulis perlu dilakukan agar tidak terperangkap kepada doku­men palsu. Oleh karena itu perlu dipertanyakan tentang otentik atau tidak sejatinya suatu sumber. Juga perlu diketahui ten­tang asli dan utuhnya sumber-sumber. Kalau sebuah dokumen tidak lagi utuh atau cacat, seo­rang sejarawan harus mengada­kan restorasi teks agar doku­men tersebut kembali utuh da­lam arti isi yang terkandung dapat diterima secara ilmiah. Untuk itu diperlukan berbagai ilmu bantu sejarah yang dapat memberikan penjelasan yang lo­gis atas dokumen tersebut, se­perti arkeologi, filologi, dan se­bagainya.

Masalah anakronistis suatu sumber perlu juga diketa­hui. Masalah ini berkenaan de­ngan apakah materi sumber; tu­lisan, tanda tangan, materai, cap atau stempel, serta langgam dan peristiwa yang terekam di dalam dokumen tersebut cocok dengan zamannya. Kalau tidak cocok, berarti dokumen tersebut anakronistis dan tidak bisa diguna­kan sebagai fakta sejarah.

Kritik intern terhadap sumber tertulis terutama dilakukan de­ngan jalan melihat kompetensi, atau kehadiran pengarang terha­dap waktu atau peristiwa. Ke­pentingan pengarang, sikap berat sebelah serta motif peng­arang, juga sangat perlu untuk diketahui guna menentukan kre­dibilitas isi tulisan. Sedangkan terhadap sumber tertulis berupa dokumen, dilakukan dengan me­lihat segi semantik, hermeneu­tik, dan pemahaman terhadap historical mindedness.

Masa­lah semantik (arti kata) berke­naan dengan kemampuan me­mahami secara tepat tentang arti sebuah kata, istilah, maupun konsep yang ada dalam sebuah dokumen. Dan, masalah herme­neutik berkenaan dengan peng­halusan suatu kata atau istilah sehingga mengaburkan arti yang sebenarnya. Sedangkan masalah historical mindedness berkenaan dengan kemampuan memahami hal-hal kesejarahan dengan jalan “meluluhkan” jiwa dan pi­kiran sesuai dengan kondisi ke­sejarahan, dan tidak mengguna­kan ukuran sekarang untuk “mengukur” masa lampau terse­but. Oleh karena itu, kadangkala diperlukan pengetahuan dan penghayatan kultural tentang si­tuasi dan kondisi dimana dokumen tersebut dibuat.

Interpretasi

Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu sendiri bu­kanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh, kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apa­bila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna.

Fakta-fakta sejarah ha­rus diinterpretasikan atau ditaf­sirkan agar sesuatu peristiwa da­pat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menye­leksi, menyusun, mengurangi te­kanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya perta­nyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, te­tapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya.

Dalam interpretasi, seorang se­jarawan tidak perlu terkungkung oleh batas-batas kerja bidang sejarah semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi se­gala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mema­hami kompleksitas sesuatu per­istiwa, maka mau tidak mau se­jarah memerlukan pendekatan multidimensi. Dengan demikian, berbagai ilmu bantu perlu diper­gunakan dengan tujuan mem­pertajam “pisau analisis” se­hingga diharapkan dapat dipero­leh generalisasi ke tingkat yang lebih sempuma.

Perlu pula dikemukakan di­ sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas seja­rawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan ha­rus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.

Historiografi

Historiografi adalah penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk tulisan. Dapat dikatakan historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja seorang sejara­wan, dan dari tahapan inilah da­pat diketahui “baik buruknya” hasil kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam penulisan diperlukan kemampuan menyu­sun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris ke dalam tulisan yang sistematis, utuh, dan ko­munikatif.

Dalam historiografi modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai tidak lagi terpaku ke­pada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif, tetapi de­ngan multidimensionalnya le­bih mengarah kepada bentuk yang analitis karena dirasakan lebih scientific dan mempunyai kemampuan memberi kete­rangan yang lebih unggul diban­dingkan dengan apa yang ditampilkan oleh sejarawan konvensio­nal dengan sejarah naratifnya.

Kamis, 18 Juni 2009

Tugas Evaluasi Pembelajaran Sejarah

1. Dua suku asli yang besar yang membentuk bangsa Yunani yaitu, suku ......

a. Barbarian dan Sumerian c. Dorians dan lonians e. Sparta dan Athena

b. Persian dan Barbarian d. Dorians dan Sumerian

2. Kawasan Romawi adalah daerah berupa semenanjung yang sekarang dikenal dengan semenanjung ......

a. Mediterania c. Balkan e. Malaka

b. Italia d. Hindia

3. Akibat 2 kebudayaan yang sangat kontras di Yunani, maka timbul dualisme ketatanegaraan yang dikenal dengan sebutan .........

a. Dorians dan Ionians c. Ionians dan Athena e. Sparta dan Dorians

b. Sumeria dan Dorians d. Athena dan Sparta

4. Leluhur bangsa Romawi adalah bangsa .......

a. Harappa c. Latium e. Aria

b. Dravida d. Mongolia

5. Negara kota pada Yunani di sebut dengan .......

a. Cape Town c. Capital City e. Polis

b. Downtown d. Pilus

6. Kebudayaan dari suku mana yang sebagian besar di adopsi oleh bangsa Romawi .......

a. Barbarian dan Sumerian c. Dorians dan lonians e. Sparta dan Athena

b. Persian dan Barbarian d. Dorians dan Sumerian

7. Perbedaan yang paling mencolok antara Sparta dengan Athena adalah ......

a. Penduduk c. Daerah e. Sistem Pemerintahannya

b. Undang – Undang d. Mata Pencaharian

8. Kebudayaan Romawi ini selain didapat dari bangsa Yunani sendiri, juga diperoleh dari orang- orang Etruscan yaitu bangsa-bangsa pelaut dari .......

a. India c. Madagaskar e. Mesir

b. Mesopotamia d. New Zealand

9. Salah satu ciri khas dari penduduk Athena ini adalah keinginan dan usaha mereka dalam menciptakan apa yang kemudian amat terkenal dengan istilah ......

a. Demokrasi c. Inagurasi e. Ilustrasi

b. Dekorasi d. Irigasi

10. Sebagai bangsa yang dikenal kuat dan haus dalam berperang dan tidak pernah berhenti memperluas daerah jajahannya, kepribadian Romawi tersebut selanjutnya mereka tuangkan dalam karya-karya arsitektur bangunan mereka yang mempunyai ciri menonjolkan kemegahan, kekuatan dan kebesaran mereka. Beberapa contoh karya mereka yang terkenal adalah .....

a. Temple of Fortune Virilis c. The temple of Venus e. Aquaduct

b. Kuil Pantheon d. Semua Benar

Kunci Jawaban Soal

1. c 6. c

2. b 7. e

3. d 8. b

4. c 9. a

5. e 10. d

KISI KISI Soal Berdasarkan Kurikulum

No

Pokok Bahasan

No. Soal

Kategori Kognitif

Jml

C1

C2

C3

C4

C5

C6

1

2

3

4

5

Perbandingan antara kebudayaanYunani dan Romawi kuno.

01

02

03

04

05

06

07

08

09

10

v

v

v

v

v

v

v

v

v

v

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

Jumlah

0

0

2

4

2

2

10


Uji Reliabilitas dan Validitas

No

Nama

Nomor Item

Skor

Total

Ganjil

X

Genap

Y

Awal

x

Akhir

y

X2

Y2

XY

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1

Mirungga Jalas Bay

1

0

1

0

1

1

1

1

0

1

7

4

3

3

4

16

9

12

2

Sweet Devi Antika

1

1

1

0

1

0

1

0

1

1

7

5

2

4

3

25

4

10

3

Dodgers Muray Cool

1

1

0

1

1

1

0

1

1

0

7

3

4

4

3

9

16

12

4

Erwin Gipongsighi

1

0

0

1

1

1

0

0

1

1

6

3

3

3

3

9

9

9

5

Citra Cute Damietta

1

1

0

1

1

0

1

0

1

0

6

4

2

4

2

16

4

8

6

Dieto Gorry

1

0

1

1

0

1

0

0

1

1

6

3

3

3

3

9

9

9

7

Ibnu Sujiancho

1

0

1

0

1

1

0

1

1

0

6

4

2

3

3

16

4

8

8

Sri Awasluntar

1

0

1

0

1

0

1

0

1

0

5

5

0

3

2

25

0

0

9

Ricky Simatupang

1

1

0

1

1

0

0

0

1

0

5

3

2

4

1

9

4

6

10

Meresabehe Ngasotahe

1

1

1

0

1

0

0

0

1

0

5

4

1

4

1

16

1

4

Jumlah

38

22

35

25

150

60

78

rxy = N ∑XY - (∑X) (∑Y)

√ { N∑X2 _ (∑X)2 } { N∑Y2 – (∑Y)2 }

= 10 . 78 – (38) (22)

√ {10 . 150 – (38)2 } {10.60 - (22)2 }

= 780 – 836

√ (1500 – 1444) (600 – 484)

= - 56

√ 56. 116

= - 56

√6496

= - 56

80,59

= - 0,69

r11 = 2 r ½ . ½

(1+ r ½ . ½ )

= 2 . – 0,69

1 + ( - 0,69 )

= - 1 , 38

1, 69

= - 0, 816